Redenominasi Rupiah, Apa dan Mengapa?

Gambar
Bayangkan kamu sedang berbelanja di minimarket. Harga sebotol minuman tertulis 15.000. Sekarang, bayangkan harga yang sama ditulis sebagai 15. Apa yang terjadi? Uangnya hilang? Nilainya berkurang? Tidak juga! Inilah gambaran sederhana dari sebuah kebijakan moneter yang disebut redenominasi . Apa itu Redenominasi? Singkatnya, redenominasi adalah menyederhanakan denominasi (angka nominal) mata uang dengan mengurangi jumlah digit (angka nol) tanpa mengurangi nilainya . Analoginya: Kamu punya uang Rp 100.000 di dompet. Setelah redenominasi, uang itu akan ditulis sebagai Rp 100. Namun, daya belinya TETAP SAMA. Dulu Rp 100.000 bisa membeli 10 buku tulis, setelah redenominasi, Rp 100 tetap bisa membeli 10 buku tulis yang sama. Hanya angkanya saja yang dipotong. Redenominasi BUKAN Sanering! Ini adalah hal yang paling penting untuk dipahami. Banyak orang menyamakan redenominasi dengan sanering, padahal keduanya sangat berbeda. Aspek Redenominasi Sanering Nilai Uang Tidak Berubah . Daya beli ...

Semoga Rintih Tak Terlambat Didengar


Sumber gambar : Click it!
       Tiupan lembut udara pagi mengusik tidurku. Tidur semalaman yang terasa sangat pendek. Bahkan mataku masih terasa berat untuk dibuka. Pagi ini memang terasa dingin. Namun, semua itu tak menyurutkan niatku untuk melangkah.
Sosok mentari di ufuk timur yang mulai mengintip, sedikit melegakan hatiku. Hangat belaiannya membuat nyaman tubuhku. Kawanan lebah pun merasakannya. Mulai berburu mendatangi setiap pucuk bunga, demi setiap tetesan nektar. Tubuhku yang tadinya menggigil, perlahan mulai sirna. Mengajakku menyongsong hari demi masa depan. Sekarang waktuku untuk melenggang dan menjalani langkah dengan pasti.
Sungguh setiap tarikan nafas adalah berkah. Saat kutarik nafasku dalam-dalam. Seketika terasa oksigen segar masuk melalui rongga hidung, lalu menyenggol setiap cincin tenggorokan dan masuk ke sela paru-paru. Siklus yang selalu kulakukan sadar ataupun tidak. Salah satu kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. Sebab tanpanya, aku akan mati. Dan hanya menyisakan jasad yang terbaring di dasar gundukan tanah.
Semilir angin menerpa wajah polosku. Meninggalkan sensasi segar di benak luguku. Kicau burung yang saling bersahutan memanjakan telingaku. Melodi indah hasil cipta alami. Ritme yang sugguh bersahabat. Tidak terlalu cepat dan tidak pula terlalu lambat. Tak sekeras musik Rock yang lugas. Tak juga mendayu-dayu seperti musik khas tanah Melayu. Setiap nada demi nada mengalir begitu saja dalam otakku. Iramanya yang pas akan membawamu melayang tinggi ke kahyangan. Memaksamu bermimpi indah meski sedang terjaga. Pentas klasik buah karya bumi.
Sekejap mataku terbelalak. Aku menyaksikan panorama indah yang tak akan pernah kutemui di metropolitan. Bunga-bunga khas tropis bermekaran. Membagi harumnya pada bumi beserta isinya. Gemericik kecil air mengalir di sela-sela kaki ku yang separuhnya basah karena tercebur ke sungai. Ikan, siput, dan juga katak terlihat gembira. Menikmati indahnya kehidupan mereka yang jauh dari jangkauan para diktator kota.
Sepertinya hari mulai menua. Sang surya yang tadinya hanya mengintip di balik bukit, sekarang mulai menunjukkan keberaniannya. Naik dari tingkatan terbawah hingga tingkatan teratas. Seperti sedang menaiki sebuah lift. Hingga pada suatu saat tepat tegak lurus di atas mahkota hitam ku. Merayu pori-pori ku yang tadinya mengkerut menjadi mengembang. Sehingga menyulap kulit yang kering menjadi basah bercucur keringat.
Aku sangat bersyukur masih dapat merasakan keindahan bumi sekarang ini. Namun, dalam benak ku selalu muncul beribu pertanyaan. Pertanyaan yang membuat ku menggigil jika mengingatnya. Pertanyaan yang menghantui pikiran di setiap tidur larutku. Entah apa yang terjadi, perasaan ini terus muncul bersamaan dengan bertambahnya usia ku.
“Apakah kelak aku masih bisa menikmati ini semua? Apakah kesempatan seperti ini masih bisa dirasakan oleh anak-cucu ku?”. Entahlah.
Akhir-akhir ini bumi seperti tercekik. Meski aku tak dapat mendengar suara rintihnya, tapi aku dapat merasakan apa yang sedang di derita bumi ku. Tersirat dalam setiap aktifitasnya yang banyak keanehan.
Semua miliknya telah dijarah oleh jiwa-jiwa tak bermoral. Sepucuk pistol pemburu terlihat menyedihkan. Membidik tubuh-tubuh lunglai hewan buruan yang tak berdosa. Dengan ledakan bomnya mereka merusak terumbu karang. Menjala ikan-ikan kecil dengan rajutan pukat harimau. Sungguh ironis apa yang mereka lakukan.
Ingin rasanya aku mengakhiri ini semua. Api, air, tanah, dan udara. Keempat elemen yang awalnya bersahabat, kini mulai berkhianat. Menjadi musuh dalam selimut yang sewaktu-waktu bisa menusuk dari belakang.
Api yang dulunya selalu menerangi malam-malam gelap ku, sekarang mulai acuh. Bertindak sesuka hati tanpa memperdulikan apapun. Hutan, ilalang, dan semak belukar. Seutuhnya dibumihanguskan menjadi arang. Keperkasaan ‘Si Jago Merah’ yang tak tergoyahkan. Bekerja sama dengan asap dan meluapkan kemarahannya pada kami manusia.
Namun air yang kubutuhkan untuk meredakan emosi api, tak kunjung muncul. Jalur naga air atau yang sering kami sebut dengan sungai, semuanya mengering. Jalurnya memang masih terlihat, tapi isinya benar-benar tak ada. Kerongkongan ku yang kering pun tak mau kompromi, tapi aku harus menahannya. Mungkin air takut akan keganasan manusia yang semakin menjadi-jadi. Sehingga semuanya lebih memilih bersembunyi jauh di dasar bumi, karena pohon-pohon tempatnya berlindung telah kami tebang. Dan kami jadikan bahan-bahan pembuatan perabot rumah tangga.
Saat semua menyadarinya, bisa jadi keadaan sudah terlalu buruk.. Aku tak bisa menemukan tempat yang cocok untuk tempat menanam pohon kecilku. Tanah-tanah menjadi gersang. Itu semua terlihat dari rupanya yang pecah dan patah di sana-sini. Bukit kecil di balik gunung, yang duluya banyak ditumbuhi bunga. Sekarang telah hampa dan menjadi gurun dengan pasirnya yang kian tersapu angin.
Tanpa pepohonan aku akan mati. Tak kan ada yang mendaur ulang karbon dioksida. Itu artinya, tak ada pula Oksigen yang bakal diproduksi. Udara di sekitar akan terasa menyesakkan dada. Membuat dirimu kesulitan bernafas dan akhirnya tersungkur tanpa daya.
Kekacauan merajalela. Entah itu kerusakan lingkungan atau bahkan kerusakan moral umat manusia. Yang jelas semuanya mulai rusak. Limbah industri mengapung di perairan bersama dengan sampah rumah tangga dan pestisida berbahaya. Semuanya bercampur, merusak indahnya pemandangan. Asap pabrik, asap rokok, dan asap kendaraan bermotor melambung ke angkasa lalu menutupinya. Menyebabkan efek rumah kaca semakin menggila.
Coba bayangkan apa yang akan terjadi puluhan tahun lagi. Jika hal ini terus berlanjut tanpa ada pembenahan. Kurasa, segala kehidupan yang ku nikmati pagi tadi, hanya akan menjadi sejarah. Menjadi dongeng-dongeng pengiring tidur untuk anak-cucu.
Di masa depan, mungkin air akan semakin sulit dicari dan menjadi barang yang sangat langkah. Bahkan harganya bisa jauh melebihi harga emas ataupun berlian. Jika kelak itu semua terjadi. Mungkin aku akan bercerita pada anak-anak ku, ”Nak, dengarlah! Dulu ayahmu sangat sering bermain di tempat ini. Tempat ini dulunya dialiri air yang sangat bersih. Ayah bebas minum dan berenang sepuasnya di tepat ini. Tak seperti sekarang, untuk minum pun sekarang susah. Apalagi untuk berenang, itu mustahil”.
Dengan penuh kepolosan, anak-anak ku pun mungkin akan balas bertanya,”Ayah, kenapa dahulu air berlimpah dan mudah dicari? Sedangkan sekarang sangat sulit”.
“Ini semua karena kesalahan kami, kesalahan ayah dan orang-orang pada zaman tersebut. Kami lalai dan tidak menjaga apa yang telah di anugrahkan oleh Tuhan dengan sebaik mungkin. Kami cenderung acuh dan menghamburkannya sesuka hati. Oleh sebab itu anakku, jangan sampai engkau mengulang kembali kesalahan fatal yang pernah ayahmu ini lakukan. Karena sekarang, hanya penyesalan yang tersisa dalam batin ayah”.
Kurang lebih mungkin hal-hal tersebut yang akan terjadi kelak, jika kita umat manusia terlambat membenahi kerusakan di muka bumi. Terlambat menanggapi rintihan bumi.
Ini bumi milik kita, tempat tinggal kita. Mengapa kita merusaknya? Seharusnya kita jaga dan kita rawat sepenuh hati.
Aku ingin memperbaiki ini semua. Kurasa belum terlambat untuk itu. Tak ada kata terlambat. Akan kurawat bumi ku ini. Kusayangi dengan sepenuh hati layaknya anggota keluarga.
Nampaknya senja mulai tiba. Mentari di ufuk barat mulai lelah dan akan segera bersembunyi. Langit-langit jingga di angkasa akan segera terganti. Terganti dengan langit gelap bertabur bintang. Dan pada saat itulah aku harus memejamkan mata dan berdo’a. Semoga semua yang ingin kulakukan belum terlambat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SR Latch & Flip-Flop (Rangkaian Sekuensial 1 part 2)

Tambahan (Kondisi Don't Care)

Parent, Child, Zombie, Orphan and Daemon (Process)