Tiupan
lembut udara pagi mengusik tidurku. Tidur semalaman yang terasa sangat pendek.
Bahkan mataku masih terasa berat untuk dibuka. Pagi ini memang terasa dingin.
Namun, semua itu tak menyurutkan niatku untuk melangkah.
Sosok mentari di ufuk timur yang mulai
mengintip, sedikit melegakan hatiku. Hangat belaiannya membuat nyaman tubuhku.
Kawanan lebah pun merasakannya. Mulai berburu mendatangi setiap pucuk bunga,
demi setiap tetesan nektar. Tubuhku yang tadinya menggigil, perlahan mulai
sirna. Mengajakku menyongsong hari demi masa depan. Sekarang waktuku untuk melenggang
dan menjalani langkah dengan pasti.
Sungguh setiap tarikan nafas adalah
berkah. Saat kutarik nafasku dalam-dalam. Seketika terasa oksigen segar masuk
melalui rongga hidung, lalu menyenggol setiap cincin tenggorokan dan masuk ke
sela paru-paru. Siklus yang selalu kulakukan sadar ataupun tidak. Salah satu
kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. Sebab tanpanya, aku akan mati. Dan hanya
menyisakan jasad yang terbaring di dasar gundukan tanah.
Semilir angin menerpa wajah polosku.
Meninggalkan sensasi segar di benak luguku. Kicau burung yang saling bersahutan
memanjakan telingaku. Melodi indah hasil cipta alami. Ritme yang sugguh
bersahabat. Tidak terlalu cepat dan tidak pula terlalu lambat. Tak sekeras
musik Rock yang lugas. Tak juga mendayu-dayu seperti musik khas tanah Melayu. Setiap
nada demi nada mengalir begitu saja dalam otakku. Iramanya yang pas akan
membawamu melayang tinggi ke kahyangan. Memaksamu bermimpi indah meski sedang
terjaga. Pentas klasik buah karya bumi.
Sekejap mataku terbelalak. Aku menyaksikan
panorama indah yang tak akan pernah kutemui di metropolitan. Bunga-bunga khas
tropis bermekaran. Membagi harumnya pada bumi beserta isinya. Gemericik kecil
air mengalir di sela-sela kaki ku yang separuhnya basah karena tercebur ke
sungai. Ikan, siput, dan juga katak terlihat gembira. Menikmati indahnya
kehidupan mereka yang jauh dari jangkauan para diktator kota.
Sepertinya hari mulai menua. Sang surya
yang tadinya hanya mengintip di balik bukit, sekarang mulai menunjukkan
keberaniannya. Naik dari tingkatan terbawah hingga tingkatan teratas. Seperti
sedang menaiki sebuah lift. Hingga pada suatu saat tepat tegak
lurus di atas mahkota hitam ku. Merayu pori-pori ku yang tadinya mengkerut
menjadi mengembang. Sehingga menyulap kulit yang kering menjadi basah bercucur
keringat.
Aku sangat bersyukur masih dapat merasakan keindahan bumi sekarang ini.
Namun, dalam benak ku selalu muncul beribu pertanyaan. Pertanyaan yang membuat
ku menggigil jika mengingatnya. Pertanyaan yang menghantui pikiran di setiap
tidur larutku. Entah apa yang
terjadi, perasaan ini terus muncul bersamaan dengan bertambahnya usia ku.
“Apakah kelak aku masih bisa menikmati ini semua? Apakah kesempatan
seperti ini masih bisa dirasakan oleh anak-cucu ku?”. Entahlah.
Akhir-akhir ini bumi seperti tercekik. Meski aku tak dapat mendengar
suara rintihnya, tapi aku dapat merasakan apa yang sedang di derita bumi ku.
Tersirat dalam setiap aktifitasnya yang banyak keanehan.
Semua miliknya telah dijarah oleh jiwa-jiwa tak bermoral. Sepucuk pistol
pemburu terlihat menyedihkan. Membidik tubuh-tubuh lunglai hewan buruan yang
tak berdosa. Dengan ledakan bomnya mereka merusak terumbu karang. Menjala ikan-ikan
kecil dengan rajutan pukat harimau. Sungguh ironis apa yang mereka lakukan.
Ingin rasanya aku mengakhiri ini semua. Api, air, tanah, dan udara.
Keempat elemen yang awalnya bersahabat, kini mulai berkhianat. Menjadi musuh
dalam selimut yang sewaktu-waktu bisa menusuk dari belakang.
Api yang dulunya selalu menerangi malam-malam gelap ku, sekarang mulai
acuh. Bertindak sesuka hati tanpa memperdulikan apapun. Hutan, ilalang, dan
semak belukar. Seutuhnya dibumihanguskan menjadi arang. Keperkasaan ‘Si Jago
Merah’ yang tak tergoyahkan. Bekerja sama dengan asap dan meluapkan
kemarahannya pada kami manusia.
Namun air yang kubutuhkan untuk meredakan
emosi api, tak kunjung muncul. Jalur naga air atau yang sering kami sebut
dengan sungai, semuanya mengering. Jalurnya memang masih terlihat, tapi isinya
benar-benar tak ada. Kerongkongan ku yang kering pun tak mau kompromi, tapi aku
harus menahannya. Mungkin air takut akan keganasan manusia yang semakin
menjadi-jadi. Sehingga semuanya lebih memilih bersembunyi jauh di dasar bumi,
karena pohon-pohon tempatnya berlindung telah kami tebang. Dan kami jadikan
bahan-bahan pembuatan perabot rumah tangga.
Saat semua menyadarinya, bisa jadi keadaan
sudah terlalu buruk.. Aku tak bisa menemukan tempat yang cocok untuk tempat
menanam pohon kecilku. Tanah-tanah menjadi gersang. Itu semua terlihat dari
rupanya yang pecah dan patah di sana-sini. Bukit kecil di balik gunung, yang
duluya banyak ditumbuhi bunga. Sekarang telah hampa dan menjadi gurun dengan
pasirnya yang kian tersapu angin.
Tanpa pepohonan aku akan mati. Tak kan ada yang mendaur
ulang karbon dioksida. Itu artinya, tak ada pula Oksigen yang bakal diproduksi.
Udara di sekitar akan terasa menyesakkan dada. Membuat dirimu kesulitan
bernafas dan akhirnya tersungkur tanpa daya.
Kekacauan merajalela. Entah itu kerusakan
lingkungan atau bahkan kerusakan moral umat manusia. Yang jelas semuanya mulai
rusak. Limbah industri mengapung di
perairan bersama dengan sampah rumah tangga dan pestisida berbahaya. Semuanya
bercampur, merusak indahnya pemandangan. Asap pabrik, asap rokok, dan asap
kendaraan bermotor melambung ke angkasa lalu menutupinya. Menyebabkan efek
rumah kaca semakin menggila.
Coba bayangkan apa yang akan terjadi puluhan tahun lagi. Jika hal ini terus
berlanjut tanpa ada pembenahan. Kurasa, segala kehidupan yang ku nikmati pagi
tadi, hanya akan menjadi sejarah. Menjadi dongeng-dongeng pengiring
tidur untuk anak-cucu.
Di masa depan, mungkin air akan semakin
sulit dicari dan menjadi barang yang sangat langkah. Bahkan harganya bisa jauh
melebihi harga emas ataupun berlian. Jika kelak itu semua terjadi. Mungkin aku
akan bercerita pada anak-anak ku, ”Nak, dengarlah! Dulu ayahmu sangat sering
bermain di tempat ini. Tempat ini dulunya dialiri air yang sangat bersih. Ayah
bebas minum dan berenang sepuasnya di tepat ini. Tak seperti sekarang, untuk
minum pun sekarang susah. Apalagi untuk berenang, itu mustahil”.
Dengan penuh kepolosan, anak-anak ku pun
mungkin akan balas bertanya,”Ayah, kenapa dahulu air berlimpah dan mudah
dicari? Sedangkan sekarang sangat sulit”.
“Ini semua karena kesalahan kami,
kesalahan ayah dan orang-orang pada zaman tersebut. Kami lalai dan tidak
menjaga apa yang telah di anugrahkan oleh Tuhan dengan sebaik mungkin. Kami
cenderung acuh dan menghamburkannya sesuka hati. Oleh sebab itu anakku, jangan
sampai engkau mengulang kembali kesalahan fatal yang pernah ayahmu ini lakukan.
Karena sekarang, hanya penyesalan yang tersisa dalam batin ayah”.
Kurang lebih mungkin hal-hal tersebut yang
akan terjadi kelak, jika kita umat manusia terlambat membenahi kerusakan di
muka bumi. Terlambat menanggapi rintihan bumi.
Ini bumi milik kita, tempat tinggal kita.
Mengapa kita merusaknya? Seharusnya kita jaga dan kita rawat sepenuh hati.
Aku ingin memperbaiki ini semua. Kurasa
belum terlambat untuk itu. Tak ada kata terlambat. Akan kurawat bumi ku ini.
Kusayangi dengan sepenuh hati layaknya anggota keluarga.
Nampaknya senja mulai tiba. Mentari di ufuk barat mulai lelah dan akan segera bersembunyi.
Langit-langit jingga di angkasa akan segera terganti. Terganti dengan langit
gelap bertabur bintang. Dan pada saat itulah aku harus memejamkan mata dan
berdo’a. Semoga semua yang ingin kulakukan belum terlambat.
Komentar
Posting Komentar