Pertengahan Januari, awan sore yang mulai menghitam, wujud transformasi dari kumulus menjadi kumulus nimbus. Angin yang datang sepertinya juga tidak sabaran. Mulai memasuki jendela kamar dan menerjang apa saja yang dilalui.
(Menghela nafas sejenak)
Jari-jari pemuda itu bergerak cepat, seperti saat seseorang sedang dikejar anjing atau bahkan hantu. Dalam benaknya sedang terjadi peristiwa besar, peristiwa yang harus segera dituliskan saat itu juga, sebelum peristiwa itu benar-benar menghilang dan takkan pernah kembali. Saat ia tak bisa lagi berpikir jernih, hanya menulislah yang dapat sedikit menyegarkannya, walaupun hanya sedikit. Sedikit. Ya, sedikit.
Walaupun sebenarnya ia tidak benar-benar menulis. Ia hanya menekan-nekan kotak berisi huruf-huruf, yang kemudian muncul ke dalam layar yang ada di hadapannya.
Saat semuanya berjalan sesuai ritmenya, inilah yang ia takuktkan. Perasaan yang datang entah darimana, yang mungkin sekilas tidak ada perubahan jika dilihat dari luar. Perasaan itu datang bagitu saja, sangat cepat. Bahkan mungkin perubahan cuaca di luar kalah cepat jika dibanding apa yang terjadi di dalam. Ya, di dalam. Jauh di dalam hatinya.
Ia pun membeku. Tangannya berhenti menulis. Ia seakan lupa dengan segala hal yang ada di sekitarnya, lupa dengan segala yang ada. Tubuh kurusnya pun seakan tertarik ke dalam ruangan dengan medan magnet yang sangat kuat. Ruangan yang kosong pada mulanya, hingga kemudian muncul pecahan-pecahan itu. Pecahan-pecahan yang tersimpan rapat. Pecahan-pecahan yang sengaja disumbunyikannya dari dunia. Atau bisa dibilang pecahan ingatan mengenai kenangan dan perasaan.
(Kembali menghela nafas, namun lebih dalam)
Ia kembali mengingat-ingat itu semua. Kembali merangkainya satu-persatu. Seperti seseorang yang sedang berusaha membenahi tali layang-layang yang terlilit, seperti itulah ia melakukannya.
Bajunya tiba-tiba basah. Hujan sepertinya mulai turun. Atap rumah tuanya sepertinya mulai menganga. Ia bergegas akan mencari sebuah wadah saat itu juga, sampai akhinya tiba-tiba ia terhenti. Asin. Terasa sedikit asin. Suatu hal yang terasa aneh jika mengingat asinnya air hujan ini.
Perlahan ia mulai sadar jika bukan atap rumahnya yang menganga melainkan hati, hatinyalah yang tengah menganga. Air hujan itu sepertinya telah masuk melalui celah-celah yang ada di hatinya. Lalu mengalir dan dikeluarkan lagi melalui kedua bola matanya. Linangan air mulai membasahi pipinya. Dan ternyata air itulah yang sebenarnya membasahi bajunya.
Saat tali itu telah kembali lurus, saat itu pulalah ia baru sadar jika tali itu kini hanya tinggal seutas tali saja. Tanpa layang-layang. Layang-layang telah terpisah dari talinya.
Sebuah cerita dari seseorang yang namanya tak mau disebut
BalasHapus